Suara yang Tidak Pernah Didengar

Pendidikan, satu kata yang memiliki kekuatan, baik untuk diri atau yang lebih besar lagi, membawa kehormatan bangsa dan negara. Bagi sebagian orang, ternyata pendidikan dianggap sebagai ajang balas dendam. Adalah pak Herman, orang tua dari Ahmad  berumur 40 tahun yang merantau ke luar negeri dengan modal seadanya. Dari tahun 1990 hingga sekarang, beliau bekerja keras menata hidupnya kembali di tanah kelahiran agama Islam, tanah Arab. Kemudian, bertemu dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya sekaligus ibu dari Ahmad.

Satu-satunya alasan pak Herman merantau ke Arab yaitu untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Klasik dan sangat jamak ditemukan di lingkungan kita. Dalih  meringankan beban orang tua yang sudah lansia, membulatkan tekad beliau untuk meninggalkan tanah air. Beliau  tidak memiliki gambaran, bahkan target akan berapa lama ia merantau. Hingga tibalah pada titik dimana beliau tidak memiliki alasan lagi untuk pulang ke tanah air, manakala kedua orang tuanya meninggal dunia.

“Saya disini mungkin udah 30 tahunan. Ya saya juga nggak peduli sih, mau berapa tahun saya tinggal disini atau kerjaan saya apa. Toh, yang penting saya bisa hidup mandiri dan layak bersama istri dan anak saya. Orang tua saya juga udah nggak ada kan, ” seloroh pak Herman dengan santai.

Sebagai orang tua, tentu pak Herman ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk pendidikan yang tak pernah beliau kecap selama ia hidup di dunia. Namun, justru anak semata wayang pak Herman menolak keras sistem pendidikan yang sudah lama bersemayam dalam sanubari Indonesia. Terkulik kisah yang ternyata menjadi pembenaran atas segala mindset yan telah terbangun oleh anak pak Herman.

Kan saya dulu nggak pernah yang namanya sekolah ya. Bisa makan aja udah syukur. Makanya, saya berusaha keras memberikan yang terbaik untuk anak saya. Biar nasibnya nggak sama kayak saya ini.” ujar pak Herman.

Penolakan tersebut berimbas pada sekolah Ahmad. Ahmad yang baru menginjak bangku SMA, selalu bersikeras ingin berhenti sekolah. Anggapannya mau sekolah atau tidak,  tetap tidak akan membawanya ke kata sejahtera. Sejahtera? Bukan, Ahmad lebih memilih kata ‘budak’ untuk mendefinisikan nasib yang ia alami. Ahmad dengan segala informasi yang ia terima, merasa sistem pendidikan yang ada di negara dimana ayahnya berasal, tetap tidak akan membantu meluruskan mindet yang telah terpatri lama dibenaknya.

Pak Herman merasa wajar dengan sikap anaknya tersebut. Mengingat bahwa ia besar dimana dan dengan siapa. Watak orang Arab yang keras kepala memanglah telah melekat kuat di dalam darah Ahmad. Selain itu, kelebihan yang kebetulan Tuhan titip ke Ahmad membuatnya selalu berpikir kritis dan idealis setiap waktu.

“Iya benar. Anak saya emang dititipi kelebihan oleh Allah SWT. Saya juga nggak ngerti kenapa baru pas masuk SMA dia ngeluh gini. Padahal dulu aman-aman aja. Bahkan pernah sampai seminggu anak saya ketahuan bolos sama saya. Sakit hati sih, tapi sebagai orang tua tentu kita harus selalu menjaga sikap kita apalagi anak sendiri ya kan?” jawab pak Herman.

Menurut Ahmad, metode pembelajaran yang bersifat robotik dan menghafal sangat tidak cocok dengannya. Bahkan teman-temannya pun mengatakan hal yang serupa. Ditambah ujian tulis  yang dirasa jauh sekali dari kata adil membuat sistem pendidikan sekarang ini sudah jelas jauh dari  bebas, efektif, dan efesien. Belum lagi kecurangan dimana-mana. Sehingga, bolos menjadi pilihan terbaik sebagai solusi.

Pak Herman sudah beberapa kali mendiskusikan masalah tersebut dengan pihak sekolah. Nyatanya pihak sekolah pun juga tidak bisa melakukan sesuatu dengan pemikiran Ahmad itu. Mereka jarang sekali menemukan anak seperti Ahmad. “Sebelum mas wawancara sama saya, saya udah puluhan kali ngomong sama kepala sekolah. Tapi tetap aja nggak ada solusi. Nyuruh Ahmad sekolah dan dia mau itu aja saya udah bersyukur banget saya. ”

Pengaruh terbesar dari penolakan Ahmad yaitu nilainya yang dulunya sempurna sekarang anjlok. Sikapnya yang dulunya masih dibilang standar, menjadi pemberontak. Absen yang kian menumpuk juga membuat pihak sekolah ragu untuk menaikkan Ahmad ke kelas berikutnya. Kenyataannya, anak seperti Ahmad ini bukan satu dua. Apalagi yang rasa nasionalismenya tidak pernah tertanam sejak kecil. Pak Hermanpun mengakui itu.

 “Ya, saya akui anak seperti Ahmad ini sebenarnya banyak. Apalagi yang tumbuh besar di negeri orang. Salah saya juga sih, tidak mengajarkan budaya kita ke Ahmad. Jadinya kan malah gini.

Di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Setiap masalah pasti memiliki solusi. Dan akhirnya harapan  pak Herman muncul ketika Mendikbud kita, Nadiem Makarim melakukan gebrakan dalam dunia pendidikan Indonesia melalui Merdeka Belajar. Sistem yang telah dilakukan riset selama kurang lebih 5 bulan sebelum dipublikasikan tersebut membuat Ahmad mendongakkan kepalanya lagi.

“Benar, setelah saya kasih tau tentang berita itu ke Ahmad, dia langsung melakukan riset seharian. Suatu hal yang saya kira jarang dilakukan anak-anak sepantarannya. Dia menganalisis semuanya dengan cermat. Dan Alhamdulillah, anak saya mau pergi sekolah lagi. Saya dan orang tua lainnya juga pasti menaruh harapan pada lompatan dari mas Nadiem itu. Apalagi kalau anak kita modelnya kayak Ahmad ini. Bisa-bisa stres kalau nggakpintar-pintar dalam menanggapi”. Ujarnya untuk terakhir kali dengan nada bahagia.

Merdeka Belajar memang suatu optimasi serta lompatan terbesar negera kita yang menuai banyak pujian dari semua kalangan baik itu guru, orang tua, maupun siswa sendiri memang. Ahmad menilai lompatan tersebut bisa menjadikan pendidikan yang merupakan tombak dan urgensi negeri kita menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Di tengah perbincangan kami, Ahmad  tiba-tiba bersuara. Padahal daritadi ia hanya diam disamping kedua orang tuanya.

“Aku sangat berharap besar kepada menteri kita itu. Menteri yang udah lalu-lalu aku rasa tidak pernah memberikan hasil yang memuaskan. Aku cuma mau yang terbaik buat temen-temen. Ujian yang basisnya bisa dijawab hanya dengan menghafal itu menjadikan mereka terpaksa curang. Aku ingat betul kata-kata dari Socrates yang mencerminkan sistem kita yang masih berlaku ini, pendidikan itu mengobarkan api, bukan mengisi bejana.”

Dari sini kita ketahui, bahwa pendidikan kita jauh dari kata sempurna. Putusnya beberapa anak dari sekolah selain faktor ekonomi, juga disebabkan karena faktor ini. Semoga saja keluh kesah pak Herman, Ahmad dan anak-anak sepertinya bisa terdengar oleh negara. Sehingga pendidikan di Indonesia bisa menjadi lebih baik, terus berkembang dan mulai dilirik oleh negara-negara yang lebih dulu maju ketimbang kita.

“Aku memang tak pernah ke Indonesia, tapi aku tau mana yang terbaik untuk tanah kelahiran orang tuaku. Jayalah Indonesia dengan segala budayanya. Dari kami, yang  jauh di jarak namun dekat di hati.”

Oleh : Usamah

Gambar hanya merupakan ilustrasi yang bersumber dari google image search.

Related

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Kabar Terbaru

Kategori

TV SIJ

INSTAGRAM SIJ